Kamis, 21 Agustus 2008

Menafsir Al-Quran, Membebaskan Perempuan



“Wanita selalu menjadi sahabat agama, namun agama tidak pernah menjadi sahabat wanita.” Demikian komentar Indologis Jerman Moriz Winternitz yang dikutip dalam buku The Tao of Islam, tentang hubungan timbal-balik antara perempuan dan agama. Sekilas kita memahami komentar ini merupakan gugatan terhadap ajaran agama yang tidak simpatik terhadap perempuan. Sebaliknya, perempuan telah sesimpatik mungkin terhadap agama.

 Membahas perempuan dalam koridor agama, sangat menarik sekaligus menantang Menarik; karena tema ini terus up to date, akan selalu dikupas, dan diperdebatkan. Menantang; karena tema ini dikungkung oleh mitos-mitos yang harus dikaji secara objektif dan kritis.Salah satu mitos dalam agama adalah unsur penciptaan Hawa yang berasal dari tulang rusuk Adam yang paling bengkok. Sehingga sepanjang masa, perempuan dipandang makhluk "bengkok" dan laki-laki memiliki otoritas untuk meluruskannya. Yang lebih parah lagi, adalah mitos yang menceritakan "konspirasi segi-tiga" antara Hawa (personifikasi kaum perempuan), ular dan setan dalam menjerumuskan Adam (personifikasi kaum laki-laki). Hawa mempergunakan rayuan seksual dalam memperdaya Adam agar memakan buah terlarang di sorga. Akhirnya Tuhan menimpali kesalahan kaum perempuan dengan hukuman haid, hamil, dan melahirkan anak dengan susah payah dan menyabung nyawa. (Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Beirut : Dbr al-Fikr, 1984, Vol. I, hlm. 335).

Fiqh-fiqh klasik juga terkesan "menindas" perempuan, seperti dalam kitab, 'Uqûd al-Lujain: Jika diperbolehkan dalam Islam menyembah selain Allah, maka, istri akan diperintahkan menyembah suami! Atau, seorang istri akan dilaknat malaikat sampai pagi, jika berani menolak "ajakan" suami. Permasalahan-permasalahan seperti ini, dengan mudah kita jumpai di sekitar perempuan. Sedemikian rupa perempuan di-brain-wash, dengan mitos-mitos dan interpretasi-interpretasi kontraproduktif. Sehingga perempuan tetap berkutat dan tidak bisa keluar dari "lingkaran-lingkaran setan" ini. Berangkat dari fenomena di atas, maka kebutuhan terhadap tafsir yang membebaskan sangat urgen dan imperatif. Mengamini pendapat Gamal Al-Banna—adik kandung Pendiri Ikhwan Muslimin Hasan Al-Banna—para ahli fiqih lah yang bertanggung jawab atas pemasungan perempuan. Sedangkan Al-Quran, menurut Gamal telah membebaskan perempuan. Beliau menulis buku yang sangat apik berjudul; Perempuan Muslimah antara Pembebasan Al-Quran dan Belengguh Ahli Fiqh (al-Mar’ah al-Muslimah Bayna Tahrîr al-Qur’ân wa Taqyîd al-Fuqâhâ).

 Jauh sebelum Gamal Al-Banna, Muhammad ‘Abduh telah berbicara tentang kebebasan perempuan. Beliau membela perempuan mulai dari hak-hak privat, nikah, poligami, perceraian, kesaksian, hingga warisan. 

 Mengapa Gamal Al-Banna dan Abduh yang dijadikan contoh, tidakkah keduanya laki-laki? Tidakkah ini bentuk lain dari hegemoni kaum laki-laki terhadap kaum perempuan? Penulis memiliki tiga alasan memilih penafsiran laki-laki terhadap Al-Quran mengenai isu perempuan. 

 Pertama, perlawanan terhadap penindasan gender bukan terbatas pada jenis gender tersebut. Namun ia masalah bersama yang harus dilawan bersama-sama pula. Umat manusia diciptakan untuk berpasang-pasangan, ketergantungan kaum perempuan terhadap laki-laki, tidak lebih besar dari ketergantungan kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. Keduanya harus saling membagi dan menerima, laki-laki dan perempuan laksana langit dan bumi, seperti dalam syair Maulana Jalâluddin al Rûmî, Menurut akal, langit adalah pria dan bumi adalah wanita. Apa saja yang diberikan oleh satunya, yang lainpun menerimanya. 

 Kedua, kepedulian laki-laki terhadap masalah perempuan sebagai wujud “penghancuran” ego dan menghilangkan sekat-sekat psiko­logis, agar dua jenis ini bisa bisa saling memahami, mengerti, dan berempati dalam menikmati hidup sâkinah, penuh diliputi mawaddah dan rahmah. 

 Ketiga, integritas dan loyalitas Muhammad ‘Abduh dan Gamal Al-Banna sebagai Pioneer Reformasi Agama. ‘Abduh dan Gamal sangat gigih memperjuangkan hak-hak perempuan. Mereka ingin membongkar kedok-kedok tradisi yang menyimpang dengan mengatas namakan ajaran agama. Penafsiran yang selalu berkuatat pada poros patriarkhi. Baik ‘Abduh dan Gamal ingin menampakkan bahwa karakteristik agama selalu bergumul dan “memberontak” terhadap tradisi. Agama selalu datang membawa angin perubahan, pembaruan dan pembebasan. Jika agama memihak pada tradisi secara membabi-buta, maka, ia telah menjelma menjadi kekuatan status quo yang berbahaya.  

 Tafsir Membebaskan
Memahami teks dengan mempergunakan mitos, kita bisa menolaknya secara mudah, karena berasal dari riwayat Yahudi (al-isrâ’iliyât). Namun, bagaimana dengan teks-teks yang terdapat dalam Al-Quran? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus menafsirkan kembali (reinterpretasi) teks-teks di atas dan menghubungkannya dengan konteks (realita) sosial dan budaya saat teks tersebut turun.

Islam—seperti agama-agama yang lain—turun pada realita yang sarat dengan nilai dan budaya. Keduanya saling bergumul dan mempengaruhi, di satu sisi agama mempengaruhi budaya, di lain sisi, budaya mempengaruhi agama. Subordinasi budaya terhadap agama merupakan realitas "nilai tawar" agama terhadap realita, ataupun sebagai "karakter kondisional" agama. Karena agama yang tidak memiliki "nilai" dan "karakter" tersebut berkonsekuensi melakukan tafsir yang radikal.

Islam turun terhadap masyarakat yang telah memiliki nilai dan struktur sosial tersendiri. Masyarakat Arab Jahili yang patriarkhi cenderung meminggirkan peran dan posisi perempuan.
I
slam turun mereformasi—bukan merevolusi—pandangan bangsa Arab terhadap perempuan. Islam datang membawa misi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kita bisa menilik dalil-dalil seperti hendaklah kita memperlakukan perempuan dengan baik (wa lahunna mitsl 'alayhinna bi al-ma'ruf), perempuan adalah saudara kandung laki-laki (al-nisâ' syaqâ'iq al-rijâl), dan beberapa dalil lainnya.

 Ajaran Islam yang berjiwa egaliter ini membentur "dinding-dinding keangkuhan" bangsa Arab. Bagaimanapun juga Islam adalah ajaran yang lembut, ramah dan kompromistis—jika bukan masalah akidah. Pembangkangan bangsa Arab—khususnya—dalam masalah perempuan dihadapi dengan sikap yang arif dan dewasa. Islam memilih bahaya (mafsadah) yang lebih kecil daripada bahaya yang lebih besar. Dan "kompromi" Islam terhadap budaya Arab bisa dipahami sebagai solusi alternatif dari pemilihan dua mafsadah tadi. 

 Diriwayatkan seorang perempuan mengadu kepada Rasulullah ditampar suaminya. Rasulullah menyuruh perempuan tersebut membalas tamparan sang suami sebagai realisasi ayat qishbsh al-Quran anna al-nafs bi al-nafs wa al-'ayna bi al-'ayn..., (jiwa dibalas jiwa, mata dibalas mata..) sekaligus bukti kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dan masyarakat Arab pun bereaksi keras, bagaimana mungkin perempuan yang sebelumnya tidak dihargai sama sekali, tiba-tiba diperbolehkan membalas perlakuan sama terhadap laki-laki? Sebagai "kompromi" turun ayat, al-rijâl qawwâmûn 'alâ al-nisâ' (laki-laki lebih berkuasa atas perempuan).

Kita bisa menjumpai beberapa teks agama yang memiliki nuansa "kompromistis" dan "kondisional" seperti di atas, seperti ayat-ayat perang, perbudakan, poligami, dan lain sebagainya. Bagi pihak-pihak yang tidak mengerti konteks sosio-historis ayat-ayat "kompromistis" tadi, al-Quran bisa dituding -seperti yang saya tulis di depan makalah ini- "inkonsisten". Padahal kalau kita memahami konteksnya dengan seksama, keberadaan ayat-ayat tersebut bisa dilenturkan (ma‘fû 'anhu).

Hal lain yang perlu diperhatikan juga, kita tidak bisa berhenti pada arti (makna) teks yang bertumpu pada muatan sejarah dan konteks. Karena, hal tersebut merupakan bentuk dari "pemasungan" sekaligus "pembunuhan" terhadap teks-teks. Dalam arti lain, kita telah "memonumenkan" teks-teks tersebut dan menganggapnya tidak lagi memiliki makna kekinian. Namun pada waktu yang bersamaan kita "diharuskan" menghadirkan kembali teks-teks tersebut meskipun rentang perbedaan ruang dan waktu yang sangat panjang. Di sini letak urgensi memahami "arti historis-orisinil" teks yang bisa disebut ma'nâ (pengertian) dan "arti realistas-modern" teks yang disebut maghzâ (signifikansi) teks-teks. 

 Menurut Nashr Hamid Abu-Zayd, perbedaan makna dan signifikansi terletak pada dua aspek. Pertama, "makna" adalah pemahaman terhadap teks yang berasal dari konteks internal bahasa (al-siyâq al-lughawâ al-dhâkhilî) dan konteks eksternal sosio-kultural ekstern (al-siyâq al-tsaqâfî al-ijtimâ'i al-khârijî). Sedangkan "signifikansi" adalah pemahaman terhadap teks sesuai dengan kondisi kekinian. Hubungan antara makna dan signifikansi seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisah. Bahkan, "signifikansi" lahir dari pemahaman kita terhadap makna asal teks-teks tersebut.

 Kedua, "makna" bersifat statis-relatif (al-tsâbbt al-nisbî), bersifat statis karena ia merupakan makna asli teks sehingga terus menyertai teks tersebut, dan relatif karena ia memiliki "keterbatasan" ruang dan waktu. Sedangkan "signifikansi" terus bergerak mengikuti perputaran dan perubahan cakrawala pembacaan kita. (Nashr Hamid: 1995, 221).

 Dengan demikian, tafsir Al-Quran yang membebaskan menjadi penting guna mengangkat harkat dan martabat perempuan, sehingga perempuan mempunyai peran yang membebaskan di tengah-tengah masyarakat.
salam
Guntur Romli