Sabtu, 07 Juni 2008

DEMONSTRASI & PEMERINTAH YANG BERADAB



by toto sugiarto on Fri, 06/06/2008 - 10:05


Menyikapi aksi demonstrasi yang marak dilakukan mahasiswa pasca kenaikan harga BBM, Juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng mengatakan (Kompas, 27/5) bahwa meskipun menganggap demonstrasi sebagai hak dan bunga demokrasi, Presiden berpendapat dialog lebih beradab daripada demonstrasi. Mengingat posisinya, perkataan tersebut tentu bukan pemikiran Andi Mallarangeng sendiri melainkan buah pemikiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.Pola pikir seperti itu mencerminkan kedangkalan berpikir. Pola pikir infantil yang selalu menganggap yang lain salah seraya menempatkan diri sebagai pihak yang lebih baik, lebih memahami, dan lebih beradab dari yang lain.

Kurang Beradabkah Demonstrasi?
Demonstrasi adalah penjebol benteng kekuasaan yang bergaya otoritarian, yaitu kekuasaan yang abai terhadap kepentingan rakyatnya. Demonstrasi muncul ketika suara yang berbeda dari kebijakan pemerintah tidak didengar. Demonstrasi adalah bentuk terakhir dan paling radikal dari suatu proses dialog antara penguasa dan yang dikuasai.Ketika wakil rakyat tidak lagi menjadi saluran aspirasi, ketika pemerintah terpaku dalam perhitungan-perhitungan yang menguntungkan dirinya sendiri, turun ke jalan adalah pilihan yang layak diambil. Demo adalah bentuk dialog dengan “dia” yang buta, tuli, bisu. Buta terhadap kesulitan dan kesengsaraan rakyat, tuli terhadap jerit tangis si miskin dan anak gizi buruk, dan bisu karena tidak lagi menjalankan tugas sebagai saluran kepentingan para pemilih.

Demonstrasi juga merupakan dialog dengan masa lalu. Dalam kasus demo menolak kenaikan harga BBM, para demonstran “berdialog” dengan kebijakan pengurangan subsidi pada Oktober 2005. Apa yang terjadi setelah pengurangan subsidi ketika itu? Pemerintah menjadi kaya raya. Pemerintah begitu sehatnya sehingga pernah terlontar bahwa cadangan devisa negara mencapai level tertinggi.

Namun apa yang dilakukan pemerintah setelah itu? Apakah pemerintah menggenjot pembangunan? Kenyataannya, infrastruktur semakin buruk, lapangan kerja menyempit, kualitas pendidikan dan kesehatan terus menurun dan kehidupan rakyat tidak beranjak dari kesulitan ekonomi. Yang dilakukan pemerintah ketika menjadi kaya dengan uang hasil pengurangan subsidi adalah menaikan gaji anggota DPR dan DPRD, menaikan gaji para pejabat pemerintah sendiri, dan mengadakan berbagai fasilitas mewah bagi para pejabat. Pemerintah berpesta dengan uang hasil mengencangkan ikat pinggang rakyat.

Jika demikian, pemikiran yang bernada merendahkan aksi-aksi demonstrasi dengan mengatakan bahwa dialog lebih beradab daripada demonstrasi adalah ngawur. Pemikiran yang datang dari pihak yang tidak mampu melihat letak demonstrasi dalam konsepsi dialog. Pemikiran dangkal seperti itu justru kurang beradab dan datang dari pihak yang tidak mampu melaksanakan mekanisme demokrasi yang sesungguhnya.


Pemikiran seperti itu datang dari pihak yang biasanya hanya “mematung diri di depan cermin”, seakan-akan sedang berdialog dengan rakyat yang berdiri di depannya. Setelah itu pergi ke ruang publik dan mengatakan bahwa dirinya selalu terbuka untuk dialog. Padahal ia hanya terbuka bagi dialog dengan “dirinya sendiri”, misalnya dalam sidang-sidang kabinet yang memakan waktu berjam-jam tanpa hasil yang baik bagi rakyat dan negara.


Penanda adanya Penyakit
Demonstrasi bukan bunga demokrasi, melainkan bau amis nanah yang muncul akibat pertahanan tubuh yang kalah terhadap serangan penyakit, penyakit minim kreativitas dan malas. Dalam kehidupan bernegara yang beradab, demonstrasi dan pemogokan merupakan penanda adanya penyakit demokrasi. Kalau saja mau berpikir dan berdialog, pemerintah tidak perlu mencabut subsidi. Pemerintah hanya perlu menagih kembali subsidi kepada kalangan yang tidak layak mendapatkannya, misalnya kepada pemilik mobil pribadi. Pemerintah bisa menetapkan aturan bahwa pemilik mobil pribadi perlu membayar dana pengembalian subsidi. Besarannya tentu bisa ditentukan. Chatib Basri, beberapa hari lalu pernah menentukan besar subsidi yang dinikmati para pemilik mobil pribadi, yaitu sebesar kira-kira Rp 1,2 juta per bulan atau sekitar Rp. 14,4 juta per tahun. Kewajiban membayar dana pengembalian subsidi ini akan menguntungkan pemerintah, adil terhadap rakyat, dan baik sebagai program pemecahan masalah kemacetan akibat terlalu banyaknya mobil pribadi.

Dengan demikian, pemerintah tetap mendapat tambahan dana, pulahan juta UKM tidak akan sekarat, dan perekonomian rakyat tidak akan memburuk. Mekanisme ini tentu lebih sederhana, lebih adil dan lebih tepat sasaran dibanding dengan membagi-bagikan dana lewat program BLT. Gagasan seperti itu tentu sudah banyak yang melontarkan. Namun karena pemerintah tidak mau mendengar dan berdialog, gagasan yang baik itu berakhir di tempat sampah. Demokrasi terganggu oleh keenggaran pemerintah berdialog dengan rakyat.

Sinyal Perlunya pengawasan
Dengan demikian, Demonstrasi adalah cermin bening terganggunya mekanisme demokrasi. Demonstrasi juga merupakan sinyal perlunya pengawasan dan sikap kritis terhadap penggunaan dana negara hasil pengurangan subsidi. Di Tahun 2005, pemerintah telah terbukti menggunakan dana negara hasil pengurangan subsidi dengan tidak semestinya. Hasilnya, mayoritas APBN dialokasikan untuk pengeluaran rutin, ditambah dengan kebocoran yang bisa mencapai angka 30 persen APBN. Jika uang negara kembali dihambur-hamburkan untuk berpesta, memperkaya diri, atau menjadikannya sebagai modal pelanggengan kekuasaan, demonstrasi perlu dimaknai sebagai sinyal bahwa rotasi kekuasaan tidak lagi terhindarkan. Jika demikian, gedung wakil rakyat nantinya harus terisi oleh mayoritas muka baru, dan kalau perlu mayoritas partai baru. Republik juga memerlukan presiden dan jajaran kabinet dengan muka dan mindset baru.
Ketika itu yang terjadi demonstrasi adalah sinyal perubahan. Perubahan ke arah kehidupan bernegara yang penuh harapan. Kala itu, demonstrasi adalah sinyal perubahan terhadap pemerintah yang korup, narsis, egois, dan kurang beradab.

Tidak ada komentar: